Breaking News
Loading...
Minggu, 04 Januari 2015

Keamanan Pangan pada Produk Perikanan

23.54
Menjamin keamanan pangan dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi merupakan tantangan besar baik bagi negara maju maupun negara berkembang. Berbagai bentuk upaya untuk memperkuat sistem keamanan pangan telah dilakukan oleh banyak negara, terutama dalam mencegah dan mengurangi penyakit yang disebabkan oleh pangan.

Selain itu, kepedulian terhadap kesehatan masyarakat terus meningkat seiring dengan banyaknya pemberitaan mengenai produk pangan terkontaminasi cemaran yang mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan manusia. Pada kenyataannya, cemaran dapat terjadi di sepanjang mata rantai pangan “from farm to table”. Seperti dijelaskan dalam Codex STAN 193-1995, Rev.3-2007 tentang Codex General Standard for Contaminants and Toxins in Foods bahwa keberadaan cemaran dalam pangan mungkin ada akibat dari berbagai tahapan produksi atau akibat dari kontaminasi lingkungan. Tahapan produksi yang dimaksud yaitu sejak dari bahan baku, proses pengolahan, pengemasan, transportasi hingga penyimpanan.

Produk perikanan merupakan salah satu jenis pangan yang perlu mendapat perhatian terkait dengan keamanan pangan. Mengingat di satu sisi, Indonesia merupakan negara maritim terbesar di Asia Tenggara sehingga sektor perikanan memegang peranan penting dalam perekonomian nasional. Terutama dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan nelayan dan sumber devisa negara. Selain itu, produk perikanan juga merupakan sumber protein hewani yang dibutuhkan oleh manusia. Namun di sisi lain, produk perikanan dapat menjadi media perantara bagi bakteri patogen dan parasit yang dapat menginfeksi manusia.

Cemaran yang umum ditemukan dalam produk perikanan

Secara umum, risiko pangan terhadap kesehatan manusia dapat timbul secara alami maupun terkait dengan penanganan pangan oleh manusia baik berupa cemaran biologi, kimia atau fisik. Pada produk perikanan, cemaran yang umum ditemukan antara lain :

1. Cemaran biologi :
  1. Vibrio parahaemolyticus
  2. Vibrio cholerae
  3. Salmonella dan Escherichia coli
2. Cemaran kimia :
  1. Logam berat (merkuri, timbal)
  2. Histamin
  3. Marine biotoxin (racun hayati laut)
  4. Hormon, antibiotik, pestisida
  5. Bahan berbahaya (formalin, rhodamin B).
Berikut deskripsi lebih lengkap cemaran yang umum terdapat dalam produk perikanan :

1. Vibrio parahaemolyticus

Vibrio parahaemolyticus adalah bakteri berbentuk koma, mempunyai flagel monotrikh, Gram negatif, motil, dan aerob, merupakan spesies utama yang banyak terdapat pada perairan pantai dan laut yaitu pada ikan, tiram, kekerangan dan seafood lainnya. Bakteri ini tumbuh pada kadar NaCl optimum 3%, kisaran suhu 5 – 43°C, pH 4.8 – 11 dan aw 0.94 – 0.99. Pertumbuhan berlangsung cepat pada kondisi suhu optimum (37°C) dengan waktu generasi hanya 9–10 menit. Keberadaan garam, nutrien yang baik serta pH dan aw yang cocok menjadikan Vibrio parahaemolyticus sering terdapat sebagai flora normal di dalam seafood. Jumlah sel yang terdapat didalam seafood biasanya dibawah 103 koloni/g.

Vibrio parahaemolyticus menyebabkan gastroenteritis disertai diare, kejang perut, mual, muntah, sakit kepala, demam, dan rasa dingin. Masa inkubasi 4 jam - 96 jam dengan rata-rata 15 jam setelah tertelan bakteri ini. Dosis infeksi lebih dari 106 koloni/g dapat menyebabkan penyakit. Infeksi oleh bakteri ini disebabkan karena mengkonsumsi seafood mentah, dimasak tidak sempurna, atau terkontaminasi dengan seafood mentah setelah pemasakan.

2. Vibrio cholerae

Vibrio cholerae merupakan bakteri berbentuk koma, berukuran 2-4 μm, sangat motil karena mempunyai flagela monotrikh, tidak membentuk spora, Gram negatif, bersifat aerob atau anaerob fakultatif, suhu optimum 37°C (18°C – 37 °C), pH optimum 8,5 – 9,5, tumbuh baik pada media yang mengandung garam mineral dan asparagin sebagai sumber karbon dan nitrogen.

V. cholerae biasanya banyak terdapat di sungai dan perairan pantai serta laut. Terdapat pada kekerangan, tiram dan seafood lain dengan jumlah sel dibawah 103 koloni/g.

Vibrio cholerae menyebabkan penyakit kolera, yang ditandai dengan diare hebat dengan warna seperti air beras. Diare ini menyebabkan 60% penderita kolera meninggal karena dehidrasi. Setelah bakteri ini masuk kedalam tubuh, turun ke saluran usus menempel pada epitelium dan melepaskan eksotoksin yang disebut koleragen. Koleragen merangsang hipersekresi air dan klorida dan menghambat absorpsi natrium. Akibat kehilangan banyak cairan dan elektrolit, terjadi dehidrasi, asidosis, syok dan kematian. Masa inkubasi 6 jam - 5 hari dengan gejala mual, muntah, diare dan kejang perut. Dosis infeksi yang dapat menimbulkan penyakit yaitu 107 koloni/g. .

3. Merkuri

Merkuri (Hg) berada di lingkungan dalam bentuk merkuri anorganik, berasal dari berbagai sumber baik secara alami maupun dibuat oleh manusia. Merkuri anorganik dapat diubah menjadi bentuk organik, metilmerkuri, melalui reaksi biologi dalam tanah dan sedimen. Metilmerkuri merupakan bentuk merkuri yang paling toksik, paling banyak ditemukan pada organisme laut dan terakumulasi dalam rantai pangan. Ikan predator dapat mengakumulasi metilmerkuri dalam kadar tinggi. Biasanya ditemukan pada ikan laut atau kekerangan secara alamiah ± 0,1 mg/kg. Ikan menjadi sumber utama paparan metilmerkuri pada manusia.

Efek toksik metilmerkuri pada manusia tercatat pertama kali pada orang yang mengkonsumsi ikan terkontaminasi logam berat dari teluk Minamata, Jepang, yang terpolusi oleh industri merkuri pada tahun 1950. Bayi yang terlahir dari ibu yang mengkonsumsi ikan terkontaminasi menunjukkan kerusakan sistem saraf pusat. Dalam dekade sejak minamata, terdapat beberapa bukti menunjukkan bahwa paparan metilmerkuri dari pangan olahan ikan dan seafood mempengaruhi fungsi kognitif pada orang dewasa.

Nilai Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) yaitu 0,005 mg/kg bb sebagai merkuri total; dan 0,0016 mg/kg bb sebagai metilmerkuri.

4. Histamin

Histamin merupakan senyawa turunan dari asam amino histidin yang banyak terdapat pada ikan. Histamin tidak membahayakan jika dikonsumsi dalam jumlah yang rendah, yaitu 8 mg/100 g ikan. Menurut Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, keracunan histamin akan timbul jika seseorang mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin 50 mg/100 g ikan. Keracunan histamin pada mulanya lebih dikenal dengan nama ‘scombroid poisoning’ karena terjadi sesudah mengkonsumsi ikan dari golongan scombridae, yaitu ikan tongkol dan sejenisnya. Ikan dengan kandungan histamin lebih dari 20 mg/100 g ikan sudah tidak boleh dikonsumsi.

Gejala keracuan histamin berupa muntah, rasa terbakar pada tenggorokan, bibir bengkak, sakit kepala, kejang, mual, muka dan leher kemerah-merahan, gatal-gatal dan badan lemas. Sekilas gejala tersebut mirip dengan gejala alergi yang dialami oleh orang yang sensitif terhadap ikan atau pangan asal laut.

5. Marine biotoxin (racun hayati laut)

Keberadaan marine biotoxin disebabkan adanya alga yang mengandung racun PSP (Paralytic Shellfish Poisoning), NSP (Neurotoxic Shellfish Poisoning), DSP (Diarrhetic Shellfish Poisoning), ASP (Amnesic Shellfish Poisoning) dan CFP (Ciguatera Fish Poisoning). Biotoxin PSP, NSP, DSP, ASP umumnya terdapat pada kekerangan, sedangkan CFP sering terdapat pada ikan-ikan karang seperti kakap, kerapu, dan lain-lain.

6. Formalin dan rhodamin B

Formalin sering disalahgunakan untuk proses pengawetan produk perikanan. Padahal, formalin peruntukannya adalah sebagai pembunuh hama, pengawet mayat, bahan desinfektan pada industri plastik, busa dan resin untuk kertas. Gejala kronis yang dapat timbul setelah mengkonsumsi

pangan mengandung formalin antara lain iritasi saluran pernafasan, muntah, pusing, rasa terbakar pada tenggorokan, serta dapat memicu kanker.

Selain formalin, bahan berbahaya yang sering disalahgunakan dalam produk perikanan yaitu Rhodamin B untuk mewarnai produk kekerangan yang terlihat pucat. Rhodamin B merupakan bahan kimia yang digunakan untuk pewarna merah pada industri tekstil dan plastik. Penggunaan pewarna ini dalam pangan sangat berbahaya karena dapat memicu kanker, merusak hati dan ginjal.

Langkah mewujudkan jaminan mutu dan keamanan pangan

Melihat uraian di atas, terlihat jelas bahwa keamanan pangan menjadi perhatian mendasar bagi kesehatan publik dan mendukung kepentingan perdagangan/ekspor. Oleh karena itu, produk perikanan perlu ditangani dengan benar dari hulu hingga hilir melalui penerapan good practices di setiap lini untuk menjamin mutu dan keamanannya. Pemerintah telah menetapkan persyaratan sanitasi yang wajib dipenuhi dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran pangan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Sebagai contoh, terbitnya SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI No KEP. 02/MEN/2007 tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik, dan Keputusan Dirjen POM no. KH.00.04.3-3.011 tahun 1996 tentang Pedoman Penerapan Cara Produksi Makanan yang Baik.

Selain itu, untuk mengawasi dan mencegah tercemarnya pangan, Pemerintah menetapkan batas maksimum cemaran yang diperbolehkan keberadaannya dalam pangan. Ketentuan tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan maupun standar komoditi produk perikanan. Peraturan yang menetapkan persyaratan cemaran logam dan mikroba dalam produk pangan termasuk produk olahan ikan yaitu SK Dirjen POM no.03725/B/SK/VII/89 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam dalam Makanan dan SK Dirjen POM no.03726/B/SK/VII/89 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Makanan. Saat ini, Badan POM sedang merevisi kedua peraturan tersebut. Dalam penyusunan revisi peraturan tersebut, Badan POM melibatkan stakeholder dari berbagai pihak antara lain pakar, instansi pemerintah terkait, produsen dan lembaga konsumen. Peraturan tersebut merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang dijadikan pedoman dalam mengawasi keamanan pangan produk beredar. Pengawasan keamanan pangan yang dilakukan oleh Badan POM dilakukan sebelum (Pre market evaluation) dan setelah (Post market vigilance) pangan beredar di masyarakat.

Badan internasional yang mengatur standar pangan adalah Codex Alimentarius Commission (CAC). Komite Codex yang secara khusus menangani cemaran dalam pangan yaitu Codex Committee on Contaminants in Foods (CCCF) dan Codex Committee on Food Hygiene (CCFH).

CCCF telah menyusun Codex STAN 193-1995, Rev.3-2007 tentang Codex General Standard for Contaminants and Toxins in Foods yang menetapkan antara lain batas maksimum cemaran logam dalam produk perikanan. Cemaran yang dimaksud adalah timbal dan metilmerkuri dengan ketentuan sebagai berikut:
  • timbal dalam ikan sebesar 0,3 mg/kg
  • metilmerkuri dalam ikan sebesar 0,5 mg/kg; metilmerkuri dalam ikan predator sebesar 1 mg/kg
Pengaturan cemaran mikroba dalam pangan dilakukan oleh CCFH dalam bentuk penyusunan code of hygienic practice dan guideline.

Penanganan produk perikanan bagi konsumen

Berikut beberapa cara yang dapat diterapkan dalam penanganan produk perikanan untuk mengurangi terjadinya kontaminasi :
  1. Pilih dan konsumsi ikan yang masih segar dan bermutu baik
  2. Perhatikan cara penanganan ikan secara tepat dan benar sehingga kemungkinan besar bahayanya dapat dihindari
  3. Simpan ikan pada suhu <4oC, jika tidak maka penyimpanan tidak boleh lebih dari 4 jam.
  4. Kenali ciri-ciri produk olahan ikan yang sudah tidak baik untuk dikonsumsi, misal:
  5. Terjadi penggelembungan pada produk ikan kaleng
  6. Adanya lendir atau jamur
  7. Baca informasi yang tercantum pada label kemasan produk olahan ikan, antara lain tanggal daluwarsa
Penanganan untuk mencegah pembentukan scrombotoxin adalah proses pendinginan yang dilakukan segera setelah ikan mati.

Kontaminasi Vibrio cholera dan Vibrio parahaemoliticus dapat dicegah melalui proses pemasakan seafood secara sempurna, mencegah terjadinya rekontaminasi seafood yang telah dimasak, dan penyimpanan beku (freezing) juga efektif untuk membunuh bakteri jenis ini (Ward et al., 1997).

Terkait dengan produk pangan termasuk produk olahan ikan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, Badan POM telah membentuk Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) dalam memberikan layanan publik di bidang pengaduan konsumen. Pengaduan dapat disampaikan melalui telepon 021426333, handphone 021-32199000, serta email ulpk@pom.go.id.

Referensi

BPOM. 2005. Seri Keamanan Pangan: Waspada Keracunan Histamin. Jakarta.
Codex Alimentarius Commission. Codex General Standard for Contaminants and Toxins in Foods, Codex STAN 193-1995 Rev.3-2007.
FAO/WHO. 2006. Food Safety Risk Analysis, A guide for national food safety authorities. Rome.
Nazori Djazuli. 2002. Penanganan dan Pengolahan Produk Perikanan Budidaya dalam Menghadapi Pasar Global: Peluang dan Tantangan.
Robert J. Price et al. 1997. Compendium of Fish and Fishery Product Processing Methods, Hazards and Controls. Food Science & Technology, University of California.

Artikel ditulis oleh: Anisyah (Direktorat Standardisasi Produk Pangan, BPOM)
Sumber artikel: foodreview.co.id
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer